JAKARTA, KOMPAS.com — Pengacara senior OC Kaligis diadukan ke Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) oleh advokat asal Yogyakarta, Sujudi Rekso Putranto, yang melaporkan 22 poin dugaan kasus pelanggaran kodek etik.
"Beberapa tindakan dan sikap yang dilakukan OC Kaligis telah melanggar kode etik profesi advokat sebanyak 22 poin dugaan pelanggaran," kata Sujud di kantor DPP Peradi di Jakarta, Kamis (24/11/2011).
Pengacara eksentrik dengan panggilan Sujud mengatakan, salah satu pelanggaran etik yang dilakukan OC Kaligis adalah kerap menawarkan jasa kepada calon kliennya setelah kasus tersebut di-blow up media massa.
Padahal, tindakan seperti ini tidak diperbolehkan dalam kode etik profesi advokat."Kami melihat, OC Kaligis mencari popularitas di media," jelasnya.
Dia tidak bersedia menyebutkan isi materi pelanggaran yang diduga telah dilakukan OC Kaligis dalam pengaduan pelanggaran kode etik profesi advokat bernomor 037/advsjd/XI/11 itu. Namun, setelah didesak, dengan beberapa kasus, akhirnya pria berambut putih itu menyebutkan beberapa contoh kasus.
Misalnya otopsi ulang terhadap Irzen Okta yang dianggap ilegal. Pasalnya, otopsi ulang itu bukan atas permintaan penyidik, tetapi atas keinginan OC Kaligis. "Otopsi ulang dengan mengangkat kembali jasad Irzen Okta yang sudah dikubur selama 22 hari itu kemudian dijadikan alat bukti di pengadilan," katanya.
Seperti diberitakan, OC Kaligis adalah penasihat hukum istri korban Irzen Okta dalam kasus melibatkan lima debt collector Citibank yang kini menjadi terdakwa.
Pengacara terdakwa dalam kasus tersebut pernah menuding adanya rekayasa yang kasat perihal visum et repertum.
Menurut pengacara terdakwa, visum resmi yang diterbitkan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada 29 Maret 2011 dengan jelas menyatakan bahwa Irzen Okta meninggal karena penyakit (stroke), bukan karena adanya kekerasan/penganiayaan.
Namun, atas permintaan pengacara OC Kaligis, setelah 22 hari kemudian, dilakukan otopsi ulang oleh Dr Mun`im Idries, yang menyatakan bahwa Irzen Okta meninggal karena adanya kekerasan (penganiayaan).
Pada awalnya, jika hanya mendasarkan pada hasil visum resmi, tidak akan ada kasus pidana. Namun, setelah Mun`im melakukan otopsi ulang, menjadi berkesan seolah-olah (insinuatif) Irzen meninggal karena penganiayaan.
Hasil otopsi Mun`im yang tidak projusticia (karena itu dianggap ilegal) ini oleh jaksa penuntut umum dimasukkan sebagai dasar dakwaan. Hal itu, oleh pengacara terdakwa, dinilai sebagai obstruction of justice atau kezaliman.
Selain kasus tersebut, OC Kaligis juga dituding melakukan pelanggaran etik dalam kasus lama menyangkut artis Manohara dan kasus Prita Mulyasari.
Menurut Sujud, setelah kasus itu ramai di media massa, OC Kaligis baru menawarkan dirinya menjadi lawyer bagi sang artis.
Sujud juga menyinggung kasus Nazaruddin di mana OC Kaligis sempat terbang ke Kolombia dan mengaku sebagai pengacara Nazaruddin, padahal belum mendapat mandat sebagai pengacara dari yang bersangkutan.
Secara riil, lanjut Sujud, pelanggaran yang dilakukan OC Kaligis adalah pada kasus-kasus yang sifatnya sudah terangkat media.
"Untuk informasi detail pelanggarannya, silakan tanyakan ke Peradi karena ini baru laporan awal," ujarnya.
Dia berharap, dengan diajukannya dugaan pelanggaran kode etik advokat oleh OC Kaligis ini ke Peradi, Dewan Kehormatan Peradi akan memanggil yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan.
"Jika terbukti melanggar sumpah, jabatan, dan kode etik advokat, harus ada sanksi yang tegas, yakni secara lisan, tulisan, dan dicabut izin advokatnya. Ini atas dasar teman sejawat untuk menegakkan profesi advokat," ujarnya.
KASUS PELANGGARAN ETIKA PROFESI JAKSA
Jaksa Agung Muda Pengawasan
Kejaksaan Agung, Hamzah Tadza, menyatakan bahwa jaksa yang menangani
kasus Gayus Tambunan telah melakukan pelanggaran berat. Hamzah
menegaskan, karena ditemukan indikasi kesengajaan, tidak menutup
kemungkinan akan berujung pada pemberhentian tidak hormat. Pemberhentian
tidak hormat akan menunggu seluruh hasil pemeriksaan selesai dilakukan
dengan juga melakukan konfrontir dengan Gayus Tambunan, penyidik
kepolisian, serta pengacara Gayus.
Pelanggaran berat yang dilakukan oleh jaksa yang menangani perkara Gayus bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/1980. PP itu menyebutkan bahwa setiap pegawai negeri harus “disiplin”, yakni disiplin dalam ucapan, tulisan, dan perbuatan baik di dalam maupun di luar jam kerja. Hamzah menegaskan, jika kemudian ditemukan ada indikasi pidana, yakni menerima uang alias gratifikasi dalam menangani perkara, maka mengacu pada PP No. 20/2008, Jaksa Agung berhak memberhentikan sementara statusnya sebagai jaksa berdasarkan rekomendasi Jaksa Agung Muda Pengawasan. “Apabila nanti ada salah seorang jaksa terbukti pidana Jaksa Agung berhak memberhentikan,”tandasnya.
Kejaksaan Agung sendiri telah telah menetapkan lima orang aparaturnya sebagai terlapor dugaan pelanggaran etika profesi dalam kasus pajak Gayus Halomoan Tambunan. Para terlapor itu adalah jaksa P16 selaku peneliti Cirus Sinaga, Fadil Regan, Eka Kurnia Sukmasari, dan Ika Savitrie Salim dan jaksa P16A Nazran Aziz dari Kejari Tangerang, sebagai jaksa sidang.
Para pejabat struktural yang turut diperiksa adalah Kasubbag Tata Usaha pada Direktorat Prapenuntutan Rohayati, karena mengetahui alur administrasinya, Kasubdit Kamtibum dan TPUL pada Direktorat Prapenuntutan Jampidum Mangiring, yaitu tempat berkas masuk. Tak lupa, Direktur Prapenuntutan Poltak Manullang, Direktur Penuntutan Pohan Lasphy, juga ikut diperiksa. Hamzah menegaskan, dalam pemeriksaan yang dilakukan tersebut yang paling bertanggungjawab adalah Ketua Jaksa Peneliti Berkas Cirus Sinaga yang sekarang menjadi Asisten Pidana Khusus di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah serta Direktur Prapenuntutan Poltak Manulang yang menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku. “Dalam kasus ini keduanya yang paling bertanggung jawab,”tegasnya. Hamzah bilang, jabatan struktural keduanya kini sudah resmi dicopot.
Pelanggaran berat yang dilakukan oleh jaksa yang menangani perkara Gayus bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/1980. PP itu menyebutkan bahwa setiap pegawai negeri harus “disiplin”, yakni disiplin dalam ucapan, tulisan, dan perbuatan baik di dalam maupun di luar jam kerja. Hamzah menegaskan, jika kemudian ditemukan ada indikasi pidana, yakni menerima uang alias gratifikasi dalam menangani perkara, maka mengacu pada PP No. 20/2008, Jaksa Agung berhak memberhentikan sementara statusnya sebagai jaksa berdasarkan rekomendasi Jaksa Agung Muda Pengawasan. “Apabila nanti ada salah seorang jaksa terbukti pidana Jaksa Agung berhak memberhentikan,”tandasnya.
Kejaksaan Agung sendiri telah telah menetapkan lima orang aparaturnya sebagai terlapor dugaan pelanggaran etika profesi dalam kasus pajak Gayus Halomoan Tambunan. Para terlapor itu adalah jaksa P16 selaku peneliti Cirus Sinaga, Fadil Regan, Eka Kurnia Sukmasari, dan Ika Savitrie Salim dan jaksa P16A Nazran Aziz dari Kejari Tangerang, sebagai jaksa sidang.
Para pejabat struktural yang turut diperiksa adalah Kasubbag Tata Usaha pada Direktorat Prapenuntutan Rohayati, karena mengetahui alur administrasinya, Kasubdit Kamtibum dan TPUL pada Direktorat Prapenuntutan Jampidum Mangiring, yaitu tempat berkas masuk. Tak lupa, Direktur Prapenuntutan Poltak Manullang, Direktur Penuntutan Pohan Lasphy, juga ikut diperiksa. Hamzah menegaskan, dalam pemeriksaan yang dilakukan tersebut yang paling bertanggungjawab adalah Ketua Jaksa Peneliti Berkas Cirus Sinaga yang sekarang menjadi Asisten Pidana Khusus di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah serta Direktur Prapenuntutan Poltak Manulang yang menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku. “Dalam kasus ini keduanya yang paling bertanggung jawab,”tegasnya. Hamzah bilang, jabatan struktural keduanya kini sudah resmi dicopot.
Menurut saya, sebagai seorang tokoh atau figur yang berprofesi sebagai pengacara dan jaksa tentunya harus menaati kode etik yang berlaku. Hal ini nantinya akan menjadi cerminan bagi masyarakat untuk menilai petugas-petugas pemerintah tidak bekerja sesuai dengan kode etik yang sudah dibuat.
BalasHapus