NASIONAL
KONFLIK-KONFLIK DI INDONESIA
1. Konflik
Aceh
Konflik vertikal
Aceh punya akar sejarah panjang. Akar konflik berkait erat dengan hubungan kekuasaan antara
pemerintah pusat dengan rakyat dan elit sosial Aceh. Masalah yang terjadi di Aceh terutama bersifat
ekonomi-politik dan sosiologi-politik ketimbang kesediaan rakyat Aceh bergabung
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aceh adalah wilayah yang paling bersemangat untuk berdiri
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahun 1947, rakyat Aceh menyumbangkan dua pesawat
komersial kepada pemerintah pusat. Selain itu, mereka juga menyumbang sejumlah
dana operasional bagi negara muda, serta pemberian izin pada pemerintah pusat
untuk menggunakan tanah Aceh sebagai air base penerbangan diplomasi Indonesia
ke luar negeri guna mencari dukungan dunia internasional bagi kemerdekaan
Indonesia. Bahkan, dua bulan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan,
rakyat Aceh membuat maklumat berbunyi berdiri di belakang maha pemimpin
Soekarno. Maklumat ini diantaranya ditandatangani Teungku Daud Beureueh, tokoh
karismatik Aceh. Secara historis pula, kehendak Aceh berdiri di dalam Indonesia
telah berproses lama. Antaranya lewat interaksi Sarekat Islam yang membuka
cabangnya di Aceh tahun 1916, Insulinde tahun 1918, Sarekat Aceh tahun 1918, berdirinya
sekolah-sekolah Islam formal-modern sejak 1919, pengiriman pemuda-pemuda Aceh
ke sekolah Muhammadiyah di Jawa, dan berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh
(PUSA) yang progresif tahun 1939. Seluruh proses ini, intinya, mendorong rakyat
Aceh familiar dengan konteks sosial Indonesia sehingga melahirkan dukungan
politik dan sosial bagi eksistensi negara Republik Indonesia.
Masalah mulai
muncul sejak hadirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Sumatera. Pasca penangkapan Sukarno-Hatta oleh Belanda, pejabat PDRI – di bawah
tekanan Belanda – mengangkat dua Gubernur Militer. Salah satu dari mereka
adalah Teungku Daud Beureueh, yang memerintah Daerah Militer Istimewa Aceh,
Langkat, dan Tanah Karo untuk kemudian dibentuk pula Provinsi Aceh dengan
Teungku Daud Beureueh selaku gubernurnya. Selepas PDRI, berlaku negara Republik
Indonesia Serikat (RIS). Namun, RIS tidak memasukkan Aceh sebagai sebuah
provinsi mandiri seperti PDRI dahulu ke dalam konstitusinya. Aceh hanya
dijadikan salah satu karesidenan, bagian dari provinsi Sumatera Utara.
Perubahan ini mendorong munculnya kekecewaan di kalangan tokoh sosial Aceh,
sehingga menganggapnya sebagai bentuk kurang amanahnya pemimpin Indonesia atas
Aceh. Sebagai reaksi politik, Teungku Daud Beureueh terpaksa memproklamasikan
daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia tahun 1953. Negara Islam
Indonesia ini sebelumnya telah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo tahun 1948. Pemisahan yang dilakukan Aceh adalah demi
mempertahankan keunikannya. Konflik elit politik nasional di Aceh usai tanggal
26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan otonomi luas,
utamanya dalam bidang adat, agama, dan pendidikan.
Selain kekecewaan
pada pemerintah pusat, konflik juga muncul akibat marjinalisasi identitas
kultural masyarakat Aceh. Sebagai komunitas politik dan sosial otonom pra
kolonial, Aceh punya konsep khas tentang budaya mereka (terkait agama Islam)
yang berkembang sejak masa kesultanan Samudera Pasai. Identifikasi kultural
yang lekat pada agama Islam mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh
dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam di
wilayah Aceh.
Konflik kembali
meruyak setelah pada tahun 1974 pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Kedua undang-undang ini dianggap mengancam
kekhasan sosio-kultural Aceh. Struktur administrasi baru masyarakat Indonesia
juga harus diterapkan di Aceh sehingga merombak lembaga-lembaga adat yang telah
ada sejak lama. Untuk menjamin penetrasi UU tersebut, pemerintah pusat
menciptakan jaringan elit lokal sebagai perpanjangan tangan dari elit
pusat.
Selain problem
identitas kultural, Aceh pun mengeluhkan eksploitasi dan ketimpangan ekonomi.
Tekanan pemerintah Orde Baru untuk memacu pertumbuhan ekonomi mendorong
eksploitasi besar-besaran atas pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda. Lewat
eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia
dan 90% hasil pupuk yang dihasilkannya di Aceh mampu digunakan sebagai
komoditas ekspor penghasil devisa negara. Eksploitasi lalu mendatangkan masalah
saat terjadi reduksi pengembalian profit ekonomi dari pusat ke Aceh. Tahun
1993, LNG Aceh menyumbang 6.664 trilyun rupiah pada pemerintah pusat, sementara
yang kembali ke Aceh hanya 453,9 milyar rupiah. Lebih ironis lagi, survey BPS
1993 menemukan fakta bahwa Aceh memiliki desa miskin terbesar di Indonesia
yaitu 2275 desa.
Gencarnya
pembangunan pabrik untuk eksploitasi alam berdampak pada meningkatnya kaum
pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa. Para pendatang ini dianggap – dari
kamata para pengelola pabrik – lebih profesional. Ketimpangan rekrutmen pekerja
ini mendorong munculnya prejudis di kalangan Aceh atas pendatang sehingga
memperkuat jargon anti Jakarta yang terkembang dalam Gerakan Aceh Merdeka. Di
lain pihak, masyarakat Aceh secara rasional mulai menyadari bahwa hasil tambang
(gas dan minyak bumi) mereka telah tereksploitir dan profitnya lebih banyak
dibawa ke pusat ketimbang dikembalikan ke daerah. Bukti bahwa konflik Aceh
belum usai adalah seorang tokoh Aceh, Hasan Datuk di Tiro, mendirikan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976, dengan propaganda anti Jawa.[8] Berdirinya GAM
merupakan sebuah katup pelepasan rangkaian faktor pendorong konflik di Aceh.
Manifestasi konfliknya bersifat vertikal, yang direpresentasikan konflik
militer antara GAM versus ABRI (saat itu). Lebih tinggi lagi, konflik daerah
versus pusat. Dalam konflik ini, Aceh dimasukkan ke dalam Daerah Operasi
Militer (DOM). Sikap pusat ini bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya,
memperkuat justifikasi atas eksisnya eksploitasi pusat terhadap Aceh dan
membenarkan gerakan mereka.
Pemberlakuan DOM
mengindikasikan resolusi konflik yang state-centric, di mana kekuatan militer
digelar sejak tahun 1970-an. Resolusi konflik tidak kunjung meredakan konflik,
karena sifatnya reaktif, tidak menyentuh akar konflik, dan didominir penggunaan
kacamata pemerintah pusat. Hanya penyelesaian bersifat dialogis, tenang, dan
saling pengertian saja yang mampu menyelesaikan larutan konflik Aceh. Lambang
Trijono menulis, setelah mengambil momentum bencana Tsunami Aceh 2004,
pemerintah Indonesia kembali membuka dialog perdamaian dengan tokoh-tokoh
GAM.[9] Puncaknya adalah penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) oleh
Pemerintah Republik Indonesia (diwakili Menkumham Hamid Awaludin), Gerakan Aceh
Merdeka (diwakili Malik Mahmud selaku Pimpinan Delegasi GAM) dan Martti
Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia, ketua dewan direktur Crisis Management
Initiative sebagai fasilitator) pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2005 di
Helsinki, Finlandia.
Dalam butir
1.1.2.a MOU tersebut, Aceh berwenang mengatur semua sektor publik kecuali
hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter
dan fiskal, kekuasan kehakiman, dan kebebasan beragama yang seluruhnya tetap
berada di tangan pemerintah pusat.[10] Selain itu, pasal 1.1.4. mengakui batas
wilayah propinsi Aceh sesuai yang berlaku sejak 1 Juli 1956. Juga disepakati
bahwa Qanun Aceh akan kembali disusun guna menghormati tradisi sejarah dan adat
istiadat rakyat Aceh. Aceh juga berhak menggunakan simbol-simbol bendera,
lambang, dan himne sendiri.
Di bidang ekonomi,
Aceh – secara unilateral – berhak memperoleh dana lewat hutang luar negeri,
bahkan menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan Bank
Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). Aceh juga berhak menguasai 70%
semua hasil yang diperoleh dari cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam
lainnya di wilayah darat dan laut Aceh, baik saat penandatangangan MOU maupun
di masa mendatang.
Dalam masalah
keamanan, GAM sepakat untuk mendemobilisasi 3.000 pasukan militernya, dengan
mana anggota GAM tidak lagi menggunakan seragam, emblem, atau simbol militer
mereka sendiri setelah penandatangan Nota Kesepahaman. GAM juga sepakat
menyerahkan persenjataan sejak 15 September 2005 dan selesai 31 Desember 2005.
Jumlah tentara organik pemerintah yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah
14.700 orang. Jumlah polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi
adalah 9.100 orang.
Kini, merupakan
tugas seluruh pihak, baik pemerintah daerah Aceh, rakyat Aceh, pemerintah
Republik Indonesia, dan seluruh warganegara Indonesia untuk mempertahankan
keberhasilan perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah. Kini Aceh harus
membangun, terlebih setelah hentakan Tsunami dan konflik berlarut-larut yang
terjadi selama ini.
2. Konflik
Papua
Akar konflik vertikal Papua relatif mirip Aceh, terutama karakter diametralnya dengan pemerintah
pusat. Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 berdasarkan kesepakatan
yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di New York pada
15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali ditegaskan lewat
Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969.
Sejak saat itu Papua terus dilanda gejolak separatisme hingga kini.
Jika di Aceh ada
GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri tahun
1964.[11] Manuver awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala
Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas umum OPM
adalah manuver-manuver sporadis untuk menyerang pos-pos polisi dan tentara,
sabotase sarana vital dan strategis seperti Freeport, menyerang transmigran,
atau penghasutan massa. Esther Heidbuchel menyebutkan, konflik Papua dapat
dirunut kepada faktor-faktor berikut :
- Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera
yang pernah diadakan Indonesia tatkala mengambil alih Papua dari
Belanda,
- Pelanggaran Hak Asasi Manusia,
baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya dalam penegakkan hukum
atas mereka,
- Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat asli Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial ekonomi mereka
serta terbentuknya stereotip yang mendiskreditkan orang Papua.
Dalam perkembangan
kemudian, masih menurut Heidbuchel, tersedia tiga jalan yang penyelesaian konflik.
Jalan pertama adalah Merdeka, yang dimotori OPM. Komposisi mereka yang pro
kemerdekaan terdiri atas rakyat biasa berpendidikan rendah, OPM, dan sebagian
kecil elit terdidik Papua. Jalan kedua, pro Indonesia yang kini menduduki
status quo. Kelompok ini didukung kaum migran (orang-orang dari luar Papua)
yang menetap di Papua, sebagian elit terdidik Papua, dan sebagian elit
pemerintah pusat. Jalan ketiga adalah Otonomi Khusus, yang didukung mayoritas
elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat, komunitas-komunitas agama, dan
LSM.
Jalan ketiga,
Otonomi Khusus, secara formal disepakati lewat terbitnya Undang-undang Nonmor
21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang diundangkan Presiden Megawati
Soekarnoputri tanggal 21 Nopember 2001. Namun, kesulitan utamanya adalah
realisasi amanat undang-undang ke dalam dunia nyata. Kendati punya sumber daya
alam yang melimpah, Provinsi Papua tercatat sebagai provinsi termiskin di
Indonesia: Alamnya kaya tetapi mayoritas penduduk aslinya miskin, bahkan sangat
miskin.
Ans Gregory da Iry
merilis hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang selama
beberapa tahun mengadakan riset atas konflik Papua.[16] Tim peneliti merangkum
empat hal pokok yang harus dipikirkan oleh pemerintah pusat di Papua. Pertama,
marginalisasi ekonomi dan tindakan diskriminatif dalam pembangunan ekonomi
terhadap orang asli Papua sejak tahun 1970, yang hasilnya membuat mereka kalah
bersaing dengan pendatang. Kedua, pemerintah kurang berhasil melakukan
pembangunan Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan
ekonomi rakyat. Ketiga, belum ada kesamaan paradigma seputar sejarah integrasi
Papua ke dalam Indonesia. Keempat, belum adanya rekonsiliasi serta
pertanggungjawaban formal dalam kasus-kasus kekerasan atas masyarakat Papua
oleh negara di masa lalu.
Pembangunan yang
timpang adalah salah satu variabel kunci yang membuat Papua terus bergolak.
Padahal, UU Otonomi Khusus secara obyektif membuka ruang besar bagi rakyat
Papua untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi daerahnya. Banyak kalangan
di Papua menghendaki proses pembangunan yang memberi peran besar pada empat
pilar kepemimpinan lokal yang terdiri atas: Pemerintah lokal, pemimpin adat,
pemimpin agama, dan kaum perempuan. Komisi yang khusus menyelidiki proses
penyelesaian konflik Papua bentukan pemerintah dan masyarakat sampai pada
kesimpulan bahwa kunci bagi perdamaian dan kemajuan di Papua adalah penerapan
secepatnya UU Otonomi Khusus Papua No. 21 tahun 2001.
3. Konflik
Maluku
Hasbollah Toisuta
menyatakan, dalam hal varian konfliknya, konflik Maluku berbeda dengan konflik
Aceh. Pertama, di Maluku terdapat konflik vertikal bernuansa
agama. Kedua, di Maluku juga terdapat
konflik vertikal bernuansa ideologi yang direpresentasikan konflik RMS versus
pemerintah pusat. Konflik yang disoroti dalam tulisan ini adalah jenis yang
kedua, konflik vertikal vis a vis pemerintah pusat.
Transisi politik
di negara manapun, rentan bagi menguatnya kecenderungan segregasi atau dalam
konteks negara kesatuan, separatisme. Ini terjadi di Maluku pasca kemerdekaan
Republik Indonesia tahun 1945. Pada tanggal 27 Desember 1949, secara resmi
Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan wilayah kepada Pemerintah Republik
Indonesia Serikat (RIS). Pemerintahan RIS tidak bertahan lama melainkan hanya
beberapa minggu saja. Namun, efeknya berdampak panjang. Oleh pendukung
persatuan Indonesia, RIS dibaca sebagai strategi Belanda untuk terus berkuasa
di Indonesia dengan cara lama: Divide et Impera. Kendati telah berbentuk RIS,
negara-negara yang tergabung ke dalamnya tetap memiliki kecenderungan kuat
untuk memasukkan diri ke dalam NKRI kecuali negara Sumatera Timur dan Indonesia
Timur.
Di negara
Indonesia Timur, banyak warga Maluku awalnya terintegrasi baik dengan
administrasi kolonial Belanda. Mereka menikmati status quo yang menguntungkan,
yang jika terjadi peralihan rezim, maka keuntungan relatif tersebut diprediksi
akan menghilang. Selain itu, pimpinan negara Indonesia Timur menganggap
pemerintah Republik Indonesia didominasi kaum Muslim, Jawa, dan tokoh-tokoh
yang mereka pandang berhaluan politik kiri. Di Indonesia Timur inilah kemudian
terjadi bentrokan antara serdadu kolonial dengan satuan-satuan Republik di
Makassar. Pemerintahan RIS Indonesia Timur dicurigai sebagai dalang bentrokan.
Pada bulan Mei dibentuklah kabinet baru Indonesia Timur dengan tujuan
membubarkan RIS dan meleburkan negara-negara yang tergabung di dalamnya ke
dalam Republik Indonesia.
Sebelumnya,
tanggal 25 April 1950, dr. C.R.S. Soumokil mempromosikan berdirinya Republik
Maluku Selatan. Proklamasi Kemerdekaan Maluku Selatan ditandatangani J.H.
Manuhutu dan A. Wairisal.[21] Pemerintah segera melakukan serangan politik dan
militer kepada negara sempalan ini dan menguasai keadaan. Karena rekannya
(Indonesia Timur) lumpuh, Sumatera Timur tidak punya pilihan kecuali bergabung ke
dalam Republik Indonesia. Sayangnya, anasir RMS tidak begitu saja menerima
kenyataan. Banyak di antara mereka melarikan diri ke negeri Belanda dan Eropa
Barat lain.
Ruth Saiya
mencatat, dukungan atas RMS tahun 1950 silam datang dari lintas komunitas
agama. Namun, secara keseluruhan dukungan tersebut hanya berasal dari sebagian
kecil masyarakat Maluku saja.[23] Bagi pendukungnya, RMS adalah bentuk
nasionalisme Maluku saat Republik Indonesia dianggap hendak dijadikan negara
berasas Islam. Bagi para pendukungnya, RMS bukan Islamis juga bukan Kristenis
sebab di Maluku hubungan Kristen dan Islam adalah hubungan persaudaraan.[24]
Jika pernyataan-pernyataan sebelumnya dianggap benar, maka sesungguhnya
kemunculan RMS merupakan bentuk kegamangan para elit politik lokal dalam
menghadapi transisi politik yang cukup cepat pasca kemerdekaan Indonesia. RMS
adalah konflik sebagian kecil elit lokal Maluku dalam menghadapi sikap-sikap
pemerintah pusat.
Puncak
revivalisasi RMS (dalam bentuk baru) terjadi saat transisi politik 1998-1999
dengan munculnya organisasi Front Kedaulatan Rakyat Maluku (FKM) yang
dimoderatori Alex Manuputty. FKM kerap dipautkan dengan RMS atau paling tidak,
neo-RMS. Oleh para provokator, RMS ditambahi embel-embel agama tertentu
sehingga situasi politik lokal dan nasional mudah memanas.
Deklarasi Malino
II untuk Maluku ditandatangani 11–12 Pebruari 2002 oleh tiga puluh lima
perwakilan Islam, tiga puluh lima pejabat pemerintah beragama Kristen, pemimpin
politik, kepala desa, serta tokoh-tokoh komunitas Kristen dan Islam. Dalam
butir ke-3 deklarasi, para penandatangan sepakat untuk menolak dan melawan
setiap jenis gerakan separatis, termasuk aspirasi pembentukan Republik Maluku
Selatan.[25] Demikianlah, secara antropologis, gerakan RMS ditutup oleh
masyarakat Maluku sendiri. Bahkan, pemerintah Republik Indonesia secara serius
menyikapi kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam Deklarasi Malino II dengan
mengeluarkan Keppres No. 38 tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Penyelidik
Independen Nasional untuk Konflik Maluku tanggal 6 Juni 2002 yang
ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri.
Tim Penyelidik
bertugas mencari keterkaitan antar berbagai peristiwa dan issue yang diduga
menjadi penyebab kerusuhan Maluku, meliputi: Peristiwa 19 Januari 1999; issue
tentang Republik Maluku Selatan; issue Kristen RMS; issue Laskar Kristus; issue
Forum Kedaulatan Maluku; issue Laskar Jihad; issue pengalihan agama secara
paksa; issue tentang pelanggaran hak asasi manusia, dan; berbagai peristiwa
pelanggaran hukum yang terkait erat dengan kerusuhan Maluku. Tim tersebut
beranggotakan empat belas orang lintas agama dan suku bangsa, menjalankan
tugasnya di provinsi Maluku bekerja sama dengan Gubernur Maluku.
Di awal
kemunculannya, RMS lebih merupakan kegamangan elit Maluku Selatan akan
privilese-privilese yang mereka terima (status quo) tatkala Belanda berkuasa,
serta tatkala Negara Indonesia Timur beroperasi singkat. Di masa Indonesia
merdeka, terlebih pasca transisi politik 1998-1999, isu RMS merupakan katup
lepasan resahnya warga Maluku Selatan atas fenomena konflik yang terus berlarut
di Maluku. RMS merupakan isu faktual, yang kendati kecil kekuatan politik
riilnya serta minim dukungan, tetapi karena di-blow-up oleh pemberitaan media
massa jadi seolah-olah besar. Dengan demikian, perlu kerjasama yang terpadu
antara pemerintah, tokoh-tokoh Maluku, dan kalangan media massa untuk
melokalisir isu RMS hingga ke tataran yang paling rendah.
Contoh upaya RMS
melakukan blow-up isu tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri
peringatan Hari Keluarga Nasional tanggal 29 Juni 2007 di Lapangan Merdeka,
Ambon.[27] Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Harganas atau Insiden
Cakalele. Sekelompok penari berhasil mengelabui petugas keamanan lalu
menghadirkan tari Cakalele disertai pengibaran bendera Benang Raja, simbol
perjuangan Republik Maluku Selatan, di depan Presiden. Seperti telah ditebak,
segera setelah peristiwa tersebut, media massa mengkonsumsinya sebagai berita
laris-manis sehingga kembali RMS mendapat perhatian nasional dan mempertahankan
eksistensinya sebagai wacana politik.
http://setabasri01.blogspot.com/2012/04/konflik-konflik-vertikal-di-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar