TULISAN 4
LOKAL
Akar Konflik Sosial-Komunal di
Makassar
a. Patologi Sosial Masyarakat Makassar
Kota
Makassar sebagai ibu kota provinsi Sulawesi-Selatan merupakan salah satu
wilayah urban yang mulai dipadati oleh penduduk dari berbagai daerah sejak
sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan penduduk yang setiap tahunnya bertambah
akibat urbanisasi, sejalan dengan semakin gencarnya pemerintah kota melakukan
pembangunan kawasan perindustrian, perdagangan, dan pariwisata, dengan peran
utama pemodal atau investor baik lokal maupun asing. Makassar yang telah
memperkenalkan dirinya sebagai kota metropolitan dan kota terbesar di Indonesia
Timur, kini mengejar status baru sebagai kota dunia, sebuah harapan yang
membanggakan memang, tapi mari kita melihat lebih dekat patologi sosial
masyarakatnya yang tentunya menjadi tolak ukur keberhidupan kota yang terkenal
dengan julukan kota daeng tersebut.
Sebagai
kota metropolitan, Makassar tentunya memiliki magnet yang menjadi daya tarik
masyarakat untuk berbondong-bondong mencari penghidupan di sana, secara
kuantitas masyarakat yang berdomisili di Makassar sebahagian besar adalah comer
(masyarakat pendatang), baik dari daerah-daerah di provinsi
Sulawesi-selatan, maupun dari kota-kota satelit yang mengelilingi kota Makassar
yang terdiri dari masyarakat suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Umumnya
masyarakat pendatang adalah pegawai (Pemerintahan dan sektor pendidikan),
karyawan, buruh dan mahasiswa. Untuk kalangan mahasiswa juga berasal dari
wilayah-wilayah Indonesia bagian Timur seperti Flores, Bima dan Maluku.
Di
tengah hiruk-pikuk kota Makassar dengan semangat pembangunannya, mungkin ada beberapa pihak yang secara serius memperhatikan perkembangan sosial masyarakat
dengan segudang persoalan dan polemik. Salah satu yang paling akrab adalah
konflik sosial-komunal yang marak terjadi, dan apabila tidak segera mendapat
solusi, hal tersebut dapat menjadi bom waktu yang akan merusak tatanan
sosial-kemasyarakatan. “Semakin tinggi tingkat heterogenitas sebuah wilayah,
maka semakin tinggi potensi konfliknya”, itulah salah satu teori konflik yang
sering menjadi dalil terjadinya berbagai konflik berbau SARA, untuk konteks
Makassar nampaknya teori tersebut memang shahih, mengingat seringnya
terjadi konflik horizontal yang bermotif kedaerahan.
b.Nasionalisme
Kedaerahan
Konflik
horizontal yang sering terjadi di Makassar umumnya bukan merupakan konflik
antar etnis (suku), tetapi merupakan konflik akibat sentimen dan fanatik
kedaerahan yang mayoritas melibatkan kalangan pemuda dan mahasiswa, sebut saja
beberapa daerah yang sering terlibat konflik seperti, Palopo (Luwu Raya), Bone,
Bulukumba, Jeneponto, dan sesekali Bima. Beberapa daerah tersebut merupakan
daerah asal mayoritas masyarakat kota Makassar, utamanya kalangan pemuda dan
mahasiswa. Masyarakat pendatang dari daerah-daerah tersebut cukup berimbang,
sehingga tidak terlihat adanya kelompok yang dominan, hal tersebut ternyata
justru meningkatkan gengsi dan sikap fanatisme kedaerahan, sehingga terkadang
menjadi pembakar api konflik karena masing-masing merasa sebagai kelompok
mayoritas. Tidak ada yang tahu pasti kapan konflik komunal ini berawal, namun
dari banyak kasus yang terjadi pemicu utama konflik adalah perkelahian antar
pemuda atau mahasiswa yang kadang merupakan konflik perseorangan, namun karena
atas nama solidaritas kedaerahan maka konflik tersebut berlanjut menjadi
seolah-olah konflik antar daerah, selain kerugian material, konflik tersebut
tidak jarang menjatuhkan korban jiwa.
Ada
yang menduga bahwa konflik komunal-kedaerahan tersebut merupakan konflik lama
dari sejarah feodalisme masyarakat Sulawesi-selatan, pendapat lain mengatakan
bahwa konflik yang terjadi adalah desain para elit politik atau mereka yang
sedang berkuasa sebagai media pengalihan issue untuk men-goal-kan
kebijakan-kebijakan yang dapat memicu pro-kontra di tengah masyarakat, entah
benar atau tidak nyatanya konflik tersebut sangat merugikan dan memalukan
karena dilakukan oleh para calon pemimpin bangsa di masa depan.
Oleh
karena itu cita-cita Makassar sebagai kota dunia harus terlebih dahulu
memperhatikan kondisi sosiologis masyarakatnya, jangan sampai pembangunan yang
semarak dan menjadi magnet sosial, justru menjadi titik mula lahirnnya berbagai
konflik akibat kesenjangan sosial yang terjadi, alih-alih menjadi kota dunia
dengan segudang prestasi, malah justru menjadi “kota dunia kekerasan
referensi =
http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/24/akar-konflik-sosial-komunal-di-makassar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar