Minggu, 28 Oktober 2012

Ilmu Sosial Dasar


TULISAN 4

LOKAL

Akar Konflik Sosial-Komunal di Makassar

a. Patologi Sosial Masyarakat Makassar

Kota Makassar sebagai ibu kota provinsi Sulawesi-Selatan merupakan salah satu wilayah urban yang mulai dipadati oleh penduduk dari berbagai daerah sejak sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan penduduk yang setiap tahunnya bertambah akibat urbanisasi, sejalan dengan semakin gencarnya pemerintah kota melakukan pembangunan kawasan perindustrian, perdagangan, dan pariwisata, dengan peran utama pemodal atau investor baik lokal maupun asing. Makassar yang telah memperkenalkan dirinya sebagai kota metropolitan dan kota terbesar di Indonesia Timur, kini mengejar status baru sebagai kota dunia, sebuah harapan yang membanggakan memang, tapi mari kita melihat lebih dekat patologi sosial masyarakatnya yang tentunya menjadi tolak ukur keberhidupan kota yang terkenal dengan julukan kota daeng tersebut.

Sebagai kota metropolitan, Makassar tentunya memiliki magnet yang menjadi daya tarik masyarakat untuk berbondong-bondong mencari penghidupan di sana, secara kuantitas masyarakat yang berdomisili di Makassar sebahagian besar adalah comer (masyarakat pendatang), baik dari daerah-daerah di provinsi Sulawesi-selatan, maupun dari kota-kota satelit yang mengelilingi kota Makassar yang terdiri dari masyarakat suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Umumnya masyarakat pendatang adalah pegawai (Pemerintahan dan sektor pendidikan), karyawan, buruh dan mahasiswa. Untuk kalangan mahasiswa juga berasal dari wilayah-wilayah Indonesia bagian Timur seperti Flores, Bima dan Maluku.

Di tengah hiruk-pikuk kota Makassar dengan semangat pembangunannya, mungkin ada beberapa pihak yang secara serius memperhatikan perkembangan sosial masyarakat dengan segudang persoalan dan polemik. Salah satu yang paling akrab adalah konflik sosial-komunal yang marak terjadi, dan apabila tidak segera mendapat solusi, hal tersebut dapat menjadi bom waktu yang akan merusak tatanan sosial-kemasyarakatan. “Semakin tinggi tingkat heterogenitas sebuah wilayah, maka semakin tinggi potensi konfliknya”, itulah salah satu teori konflik yang sering menjadi dalil terjadinya berbagai konflik berbau SARA, untuk konteks Makassar nampaknya teori tersebut memang shahih, mengingat seringnya terjadi konflik horizontal yang bermotif kedaerahan.

b.Nasionalisme Kedaerahan

Konflik horizontal yang sering terjadi di Makassar umumnya bukan merupakan konflik antar etnis (suku), tetapi merupakan konflik akibat sentimen dan fanatik kedaerahan yang mayoritas melibatkan kalangan pemuda dan mahasiswa, sebut saja beberapa daerah yang sering terlibat konflik seperti, Palopo (Luwu Raya), Bone, Bulukumba, Jeneponto, dan sesekali Bima. Beberapa daerah tersebut merupakan daerah asal mayoritas masyarakat kota Makassar, utamanya kalangan pemuda dan mahasiswa. Masyarakat pendatang dari daerah-daerah tersebut cukup berimbang, sehingga tidak terlihat adanya kelompok yang dominan, hal tersebut ternyata justru meningkatkan gengsi dan sikap fanatisme kedaerahan, sehingga terkadang menjadi pembakar api konflik karena masing-masing merasa sebagai kelompok mayoritas. Tidak ada yang tahu pasti kapan konflik komunal ini berawal, namun dari banyak kasus yang terjadi pemicu utama konflik adalah perkelahian antar pemuda atau mahasiswa yang kadang merupakan konflik perseorangan, namun karena atas nama solidaritas kedaerahan maka konflik tersebut berlanjut menjadi seolah-olah konflik antar daerah, selain kerugian material, konflik tersebut tidak jarang menjatuhkan korban jiwa.

Ada yang menduga bahwa konflik komunal-kedaerahan tersebut merupakan konflik lama dari sejarah feodalisme masyarakat Sulawesi-selatan, pendapat lain mengatakan bahwa konflik yang terjadi adalah desain para elit politik atau mereka yang sedang berkuasa sebagai media pengalihan issue untuk men-goal-kan kebijakan-kebijakan yang dapat memicu pro-kontra di tengah masyarakat, entah benar atau tidak nyatanya konflik tersebut sangat merugikan dan memalukan karena dilakukan oleh para calon pemimpin bangsa di masa depan.

Oleh karena itu cita-cita Makassar sebagai kota dunia harus terlebih dahulu memperhatikan kondisi sosiologis masyarakatnya, jangan sampai pembangunan yang semarak dan menjadi magnet sosial, justru menjadi titik mula lahirnnya berbagai konflik akibat kesenjangan sosial yang terjadi, alih-alih menjadi kota dunia dengan segudang prestasi, malah justru menjadi “kota dunia kekerasan

referensi =
http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/24/akar-konflik-sosial-komunal-di-makassar/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar